Tim hukum pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar menjadi yang pertama mengajukan permohonan PHPU Pilpres.

Tim Hukum Nasional AMIN Ari Yusuf Amir saat konferensi pers usai resmi mendaftarkan permohonan PHPU Presiden 2024 di Gedung MK, Kamis (21/03/2024). Menurutnya pemilu 2024 tidak berjalan sebagaimana mestinya secara jujur, adil, dan bebas. Justru pemilu kali ini terjadi pengkhianatan konstitusi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Tim Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meminta majelis hakim konstitusi menolak seluruh permohonan yang diajukan paslon 01 dan 03 dalam perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU). Tim Prabowo juga meminta hasil suara pemilu yang ditetapkan KPU diresmikan. "Sebagaimana hal tersebut di atas, pihak terkait memohon kepada Mahkamah konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut; dalam eksepsi menerima eksepsi pihak terkait. Menyatakan MK tidak berwewenang memeriksa perkara ini atau setidaknya menyatakan permohonan pemohon tidak diterima," ujar Yusril saat membacakan petitum dalam sidang MK, Kamis (28/3/2024). Wakil Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak permohonan pemohon perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk seluruhnya.

Tim hukum pasangan Capres-Cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo-M Mahfud MD mendaftarkan permohonan PHPU Pilpres ke MK, Sabtu (23/3/2024). Ketua Tim Hukum Capres-Cawapres ganjar - Mahfud, Todung Mulya Lubis menyebut dalam petitum, pihaknya meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran yang telah didaftarkan dengan melanggar ketentuan hukum dan etika. pasangan Ganjar-Mahfud juga meminta PSU di seluruh TPS di Indonesia dan putusan KPU RI tentang penetapan hasil pemilu 2024 dibatalkan.

Perkara PHPU meningkat

Ketua MK, Suhartoyo, menyebut jumlah permohonan tahun 2024 meningkat ketimbang tahun 2019. Permohonan itu meliputi pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), dan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota) atau Pileg. Tercatat sampai Minggu (24/03/2024) petang melansir laman mkri jumlah permohonan PHPU totalnya mencapai lebih dari 270 perkara. Permohonan PHPU tahun 2019 hanya sebanyak 262 perkara. Menurut Suhartoyo, jumlah permohonan ini masih berpotensi berubah karena petugas terus melakukan proses verifikasi terhadap berkas permohonan yang masuk. Nomor Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) diterima Pemohon setelah berkas permohonan diverifikasi.

Oleh karena itu, berkaca dari tahun ke tahun, setiap Pemilihan Umum yang dilakukan makin meningkat Perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU), yang merupakan suatu fase yang membuat kekosongan jabatan di Negara Indonesia, karena banyaknya pihak-pihak yang melakukan pengajuan untuk PSU (Pemungutan Suara Ulang), yang memberikan dampak-dampak yang signifikan untuk negara, dikarenakan Pemimpin Negara yang masih kosong, yang mengakibatkan Sistem Pemerintahan di Indonesia akan stuck dan jalan di tempat, bahkan menyebabkan kemunduran nantinya. Maka dari itu perlu di perhatikan sekali oleh pihak penyelenggara Pemilihan Umum, mengenai mekanisme dan sistematis di dalam Pemilihan Umum serta juga petinggi Negara yang bersifat Netral, yang berarti tidak memihak kepada siapapun.

Sudah semestinya kondisi ini menjadi evaluasi bagi pihak Penyelenggara Pemilihan Umum, Petinggi Negara dan rakyat Indonesia di dalam Pemilihan Umum untuk selanjutnya, agar kekosongan jabatan tidak terlalu lama, dikarenakan banyak yang harus di benahi di Negara Indonesia ini. Agar efisiensi waktu dan biaya juga untuk Pemilihan Umum yang sudah tentu memakan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar untuk Penyelenggaraan Pemilihan Umum ini.

Pembenahan yang harus dilakukan

Dimulai dari lapisan pertama, yakni masyarakat yang harus peka terhadap dunia perpolitikan yang ada di Negara Indonesia, dikarenakan masih banyak nya masyarakat yang tidak peduli sama sekali dengan perpolitikan di Indonesia, ada juga masyarakat yang awam terhadap perpolitikan di Indonesia, sehingga mudah di kibuli oleh para calon pejabat Pemerintah dengan iming-imingi uang ketika mereka di pilih atau yang sering disebut Politik Uang, yang sudah jelas melanggar kampanye sebagaimana mestinya, yang juga merugikan calon yang lainnya yang kalah secara material namun memiliki potensi yang dibutuhkan masyarakat dan negara.

Pembenahan kedua yakni para calon Pemerintah yang harus di seleksi terlebih dahulu, bukan semua orang yang mempunyai material yang banyak, berarti bisa diberikan kesempatan untuk mencalonkan diri, dikarenakan banyak nya calon yang tidak sadar akn potensi diri mereka sendiri, yang hanya mengandalkan kekayaan finansial untuk pencalonan dirinya dan menerapkan Politik Uang, yang menjadi solusi untuk kemenangan yang ingin di raih. Seleksi yang dimaksud adalah kesadaran diri dari para calon pemegang kekuasaan, yang bisa menilai diri mereka layak atau tidaknya untuk pencalonan dalam kompetisi Pemilihan Umum nantinya.

Dan yang terakhir yaitu, para Petinggi Negara dan Pemegang Kekuasaan serta Penyelenggara Pemilu, yang harus jeli dan teliti di dalam menanggapi kecurangan yang dilakukan dan direncanakan oleh para calon Pemerintah, yang harus ditanggapi dengan serius, mulai dari sanksi yang tidak pandang bulu, kalau memang salah ya salah, namun ini lah yang terjadi Negara Indonesia, apabila ada kesalahan ataupun pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, yang menjadi timbangan sanksi dari pelanggaran yang dilakukan adalah siapa bapaknya, apa pangkatnya, bukan berdasarkan norma hukum dan sanksi yang telah ditetapkan. Yang dalam tanda kutip, sanksi hukum di Indonesia masih bisa di nego-nego oleh pihak-pihak tertentu.

Oleh karena itu, peran kita sebagai generasi muda haruslah peka terhadap perpolitikan di Indonesia, memberikan edukasi kepada masyarakat terkait masih banyak nya masyarakat yang awam dan mudah di kibuli oleh Pemerintah yang ingin kesejahteraan untuk dirinya sendiri, dengan jurus andalannya yakni Politik Uang yang dilakukannya serta peran kita sebagai generasi penerus bangsa harus lah menjadi generasi yang peduli dan paham terhadap Sistem Hukum di Indonesia dan Perpolitikan yang di jalankan oleh oknum-oknum yang haus akan jabatan tapi tidak menjalankan kewajibannya untuk Negara Indonesia.

Penulis : Maikal Agus Riandi, Departemen Ilmu Politik, angkatan 2023