“Pengarusutamaan kebudayaan” adalah satu terminologi yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Terminologi itu ada pada Pasal 7 yang berbunyi “Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengarusutamaan Kebudayaan melalui pendidikan untuk mencapai tujuan Pemajuan Kebudayaan”. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pengarusutamaan kebudayan itu, bagaimana ia dilakukan melalui pendidikan, apa tujuannya, dan bagaimana dalam konteks Minangkabau di Sumatera Barat?

Hal Ihwal Pengarusutamaan Kebudayaan

Ada empat kata kunci pada pasal 7 UU 5 Tahun 2017 di atas, yakni pengarusutamaan, kebudayaan, pendidikan, dan pemajuan kebudayaan. Kata “pengarusutamaan” muncul hanya dua kali, yakni pada Pasal 7 (seperti dipaparkan di atas) dan Penjelasannya.  Pada penjelasan pasal 7 itu dinyatakan bahwa:

“Yang dimaksud dengan ‘pengarusutamaan Kebudayaan’ adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan serta rangkaian program yang memperhatikan Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan”.

Kata “pendidikan” juga digunakan hanya dua kali, yakni pada Pasal 7 dan Pasal 39. Kata “pendidikan” pada Pasal 39 itu juga hadir dalam konteks pendidikan dan pelatihan/ diklat untuk peningkatan mutu Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan. Sementara itu, kata “kebudayaan” digunakan 320 kali, baik secara sendiri maupun dalam frase “pemajuan kebudayaan”, “strategi kebudayaan”, “pranata kebudayaan” atau lainnya.  

Fakta itu (fakta-1) menunjukkan bahwa konsep “pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan” sesungguhnya belum matang. Keberadaannya kalah penting dari konsep “pemajuan kebudayaan”, yakni “upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan (Pasal 1 angka 3).

Pengertian kebudayaan sendiri terdapat pada Pasal 1 angka 1: “Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat”. Objek pemajuan kebudayaan ada 10 (Pasal 5), yakni: tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisional; teknologi tradisional; seni; bahasa; permainan rakyat; dan olahraga tradisional. Pada konsideran dinayatakan bahwa kebudayaan diorientasikan sebagai (a) investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa, (b) keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa, dan (c) diperlukan langkah strategis berupa upaya Pemajuan Kebudayaan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan.

Fakta-2 menempatkan kebudayaan sebagai (1) hal-hal yang bersifat material, artifisial, dan ornamental. Hal-hal yang substansial bahkan esensial dari kebudayaan tidak tersentuh, dan kebudayaan cenderung ditempatkan sebagai ornamen kehidupan. Padahal, dalam penghayatan saya, kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem kehidupan yang merepresentasi pada empat wujud, yakni sistem nilai, sistem ide/ gagasan/ norma; sistem perilaku, dan baru hasil karya cipta rasa karsa (benda fisikal kebudayaan). (2) Terdapat pemisahan antara politik, ekonomi, dan kebudayaan padahal politik dan ekonomi adalah unsur-unsur kebudayaan di samping Bahasa, kesenian, pengetahuan, pendidikan, teknologi, religi, dan social.

Fakta-3 tujuan pengarusutamaan Kebudayaan melalui pendidikan adalah untuk mencapai tujuan Pemajuan Kebudayaan (yakni meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya), bukan untuk pembangunan, kemanusiaan, kemasyarakatan, atau kebangsaan. Artinya, “jeruk untuk jeruk” bukan “jeruk untuk kesehatan”.

Lalu, bagaimana preskripsi atau des solen pengarusutamaan kebudayaan? Jawabnya, “Jadikan kebudayaan sebagai arus utama kehidupan, jeruk untuk kesehatan, bukan jeruk untuk jeruk”. Sebab, inti kebudayaan itu adalah budaya, yakni sistem nilai. “Nilai” adalah sesuatu yang diyakini “BAIK” karena itu dijadikan standar ide, perilaku, dan karya cipta dalam suatu masyarakat. Tentu ada yang protes, karena defenisi kebudayaan itu lebih dari seratus buah. Ketika mahasiswa saya bingung dan bertanya prihal itu, maka saya sarankan “pilih salah satu saja lalu gunakan sebagai kacamata untuk menelaah objek kebudayaan yang hendak diteliti”. Namun, bisakah memilih scara acak seperti itu untuk digunakan sebagai dasar sebuah kebijakan? Jawabnya, “Tidak”! Kebudayaan mesti didefenisikan berdasarkan konsep dan konteks masyarakat tempat kebijakan itu dirumuskan dan diterapkan.

Pengarusutamaan Kebudayaan dalam Pembangunan Sumatera Barat

Sumatera Barat identik dengan Minangkabau, bukan berarti persis sama, lebih kurang “sama tapi berbeda” atau “berbeda tapi sama”. Indikator identik adalah jika disebut Sumatera Barat maka asosiasi orang umumnya adalah Minangkabau, begitu pula sebaliknya. Namun, keduanya sesungguhnya berbeda: Sumatera Barat adalah wilayah administratif sedangkan Minangkabau adalah wilayah budaya, yang satu sama lain saling beririsan, karena wilayah budaya Minangkabau melampaui Sumatera Barat dan budaya di Sumatera Barat bukan satu-satunya Minangkabau.

Minangkabau mayoritas di Sumatera Barat, itu bukan alasan untuk mengabaikan keberadaan apalagi memarginalisasi etnik lain seperti Mentawai, Mandailing, dan Diaspora. Akan tetapi izinkan dalam tulisan ini Saya fokus kepada Minangkabau karena keterbatasan pengetahuan terhadap etnik lain. Di samping itu, menurut saya, Minangkabau memiliki ruh dan praktik baik (best practice) dalam hal “pengarusutamaan kebudayaan” bagi kehidupan holistik masyarakatnya dalam proses sejarah yang panjang.

Praktik baik yang saya maksud adalah bahwa Minangkabau menempatkan kebudayaan (adat bagi orang Minangkabau adalah kebudayaan secara utuh-Navis) sebagai arus utama dalam penataan kehidupan masyarakatnya. Dalam sejarah budaya Orang Minangkabau, persoalan kebudayaan menjadi sentral perdebatan selama berabad-abad yang menghasilkan konsensus-konsensus dan sintesis-sintesis yang ideal sekaligus implementatif dalam menata kehidupan masyarakatnya. Mengapa hal itu dilakukan mereka? Jawabnya adalah karena kebudayaan itu adalah sistem nilai yang menentukan bagi standar norma, tatanan perilaku, dan produk budaya mereka. Kebudayaan sebagai sistem nilai, asas, norma, dan ketentuan-ketentuan dalam tata kehidupan bermasyarakat pada seluruh bidang dan sektor kehidupan ditetapkan dulu melalui musyawarah, dialog-dialog, dibuahkan konsensus, dihasilkan sintesis, lalu diikuti dan dilaksanakan secara konsisten, serta diajarkan dan ditauladankan melalui pendidikan.

Contoh kasus proses dialogis dan dialektis yang menarik adalah ketika Adat (kebudayaan) Minangkabau berhadapan dengan sistem nilai baru dari luar, yakni Islam. Proses dialogis-dialektika tidak sekadar perdebatan tetapi konflik sosial. Proses dialogis pertama membuahkan konsensus adaik basandi syarak, syarak basandi adat, Konstruksi seperti itu kemudian dievaluasi, dikoreksi, dan direkonstruksi menjadi adaik basandi alua jo patuik, syarak basandi kitabullah, adat jo syarak bukan sandi basandi tapi sanda basanda. Artinya, kebudayaan mereka awalnya berlandaskan kepada alua jo patuik (pertimbangan akal sehat dan etika) sedangkan Islam berlandaskan kepada kitabullah. Keduanya dihidupi dalam satu nafas secara sinkretis.

Ternyata, perdebatan kebudayaan sebagai sistem nilai tidak berhenti disitu. Perenungan refleksif-intelektual dan proses dialogis terus bergulir, sampai ke kesimpulan yang hakiki bahwa kebudayaan harus bersendikan syarak, syarak bersendikan kepada kitabullah. Kesepakatan itu konon dikukuhkan di Bukit Marapalam sebagai sebuah “persumpahan” bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Penting diingat bahwa pengakuan bahwa syarak atau Islam sebagai sendi kehidupan adat atau kebudayaan bukan berarti nilai-nilai inti kebudayaan mereka dikikis habis dan digantikan oleh Islam. Islam menguatkan nilai-nilai adat yang khas yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan membuang praktik-praktik perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Berdasarkan kepada sistem nilai (superstruktur ideologis kebudayaan) yang telah dikukuhkan itulah dibangun struktur sosial dan imfrastruktur material (meminjam istilah Marvin Harris). Dalam struktur sosial pemerintahan di Pusat Minangkabau dikenal Rajo Tigo Selo (Rajo Alam, Rajo Adat, Rajo Ibadat) dan Basa Ampek Balai (Indomo, Makhudun, Bandaro, dan Tuan Kadhi). Begitu juga di tingkat pemerintahan nagari dibentuk tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin, urang nan ampek jinih, urang jinih nan ampek, dan lainnya. Sistem kekerabatan mereka yang matrilineal tetap dipertahankan bahkan diperkuat dengan ikatan nasab yang patrilineal (basuku ka induak banasab ka bapak) sehingga terbagun dua tali kekerabatan, yakni “tali rahim” dan “tali nasab”. Pada level imfrastruktur material, terciptalah musajik di samping balai, harta warisan di samping harta pusaka, pusaro di samping pandam, dan lainnya.

Begitu pula ketika kebudayaan local mereka berhadapan dengan kebudayaan luar dan global. Sistem nilai adat basandi syarak yang sudah mapan dijadikan tolok ukur dalam interaksi dan integrasi dengan nilai-nilai modern dan ultra-modern. Penerimaan sistem pendidikan sekuler dan sistem politik sentralistik yang secara teknis mungkin merugikan mereka, dapat mereka adopsi dan adaptasi asal tidak merusak sendi-sendi sistem nilai kebudayaan mereka. Begitulah mereka menjalani proses dialektika dan menjalankan buah dari proses tersebut dalam bentuk konsensus dan sintesis-sintesis yang ideal.

Berdasarkan kepada realitas faktual praktik baik Minangkabau itu, maka pembangunan seluruh bidang dan sektor kehidupan masyarakat Minangkabau dan Sumatera Barat mestilah berasaskan kepada kebudayaan. Cara demikianlah yang dapat diterima akal sehat sebagai “pengarusutamaan kebudayaan”, yakni kebudayaan sebagai sumber inspirasi, dasar orientasi, rujukan nilai, dan pedoman implementasi pembangunan daerah ke depan. Untuk itu, pembangunan masyarakat mesti meliputi penguatan superstruktur ideologis kebudayaan, penguatan basis struktur sosial dan pemajuan peradaban, serta peningkatan kualitas produk imfrastruktur material yang memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakatnya.

Konsep “Pengarusutamaan Kebudayaan” ini seyogianya diakomodasi sebagai sebuah bab utama dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Provinsi Sumatera Barat tentang Pemajuan Kebudayaan yang akan segera diketuk palu menjelang Agustus 2024 ini, oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat. Semoga.*

Penulis: Dr. Hasanuddin, M. Si. (Dosen FIB Universitas Andalas)