Pemilihan umum yang akan dihelat tidak berapa lagi menjadi penentu untuk menentukan arah dan nasib Bangsa Indonesia lima tahun kedepan. Masyarakat tentu menumpangkan harapan yang besar kepada calon pemimpinnya. Debat yang diselenggarakan oleh KPU dapat dijadikan alat untuk mengukur dan menakar visi, misi, program kerja dan strategi mengeksekusinya bagi setiap paslon.

Debat menjadi sebuah moment ditunggu-tunggu oleh masyarakat  serta menyita perhatian publik. Memasuki periode ke empat pelaksanaannya banyak hal yang terjadi dan menimbulkan berbagai persepsi atau pandangan, mulai dari kaca mata awam sampai ke pengamat. Saya tertarik untuk mengulasnya dari persepktif komunikasi. Salah satu aspek penting dalam komunikasi adalah bagaimana seseorang menghargai lawan bicara.  Prinsif dasarnya adalah orang akan menilai dari apa yang kita ucapkan dan bagaimana cara kita mengucapkannya. Untuk itu kita harus patuh terhadap hukum berkomunikasi yang meliputi sikap respek, memahami orang lain, mampu menyampaikan dan mendengar serta bersikap santun/ramah. Pelanggaran terhadap hukum berkomunikasi tersebut akan berefek kepada jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya tujuan kita berkomunikasi tidak tecapai, jangka panjangnya menentukan kesuksesan seseorang.  Dalam debat  ke empat antar calon wakil presiden yang baru saja beberapa hari kita saksikan di media televisi, saya menilai ada pelanggaran terhadap hukum berkomunikasi oleh paslon. Pelanggaran tersebut dapat terlihat dari penggunaan kata-kata yang tidak santun bahkan terkesan merendahkan lawan bicara. 

Ketidaksantunan merupakan kebalikan dari kesantunan. Kesantunan dalam berkomunikasi merujuk pada sikap dan tindakan yang menunjukkan rasa hormat, sopan santun, dan perhatian terhadap orang lain selama proses komunikasi. Hal ini melibatkan penggunaan bahasa yang sopan, sikap yang menghargai pendapat orang lain, serta menghindari tindakan atau kata-kata yang dapat menyakiti atau mengganggu orang lain. Tujuan dari kesantunan dalam berkomunikasi adalah untuk menciptakan hubungan yang harmonis, saling pengertian, dan menghindari konflik atau ketegangan yang tidak perlu. Dengan mengutamakan kesantunan dalam berkomunikasi, kita dapat membangun hubungan yang baik dengan orang lain, memperkuat komunikasi yang efektif, dan menciptakan lingkungan yang nyaman dan produktif.

Ketidaksantunan berarti sebuah sikap dan tindakan yang tidak  sopan, dan menggunakan kata-kata yang menyakiti atau menggangu orang lain. Dalam konteks debat yang kita saksikan pada periode ke empat terlihat ada paslon yang menggunakan kata-kata tidak sopan, menyakiti bahkan terkesan merendahkan. Atraksi yang dipertontonkan tersebut akan memberikan efek yang besar terhadap publik. Perlu diingat ada adagium atau pepatah yang sangat bijak mengatakan bahwa “kata-kata yang keluar dari mulut seseorang adalah angin yang tak dapat ditarik kembali, menjadi milik umum yang mengisi ruang dan mempengaruhi persepsi”. Artinya ketika seseorang berucap maka akan ucapan tersebut bukan milik dia lagi namun sudah menjadi milik umum dan akan terus menggelinding seperti bola salju.

Efek dari kata-kata kurang sopan atau ketidaksantunan dalam berdebat tersebut dapat menimbulkan beberapa hal.  Pertama, merusak citra dan reputasi calon itu sendiri, menggantikan diskusi substansial dengan perdebatan pribadi, dan mengaburkan pesan politik yang seharusnya disampaikan. Kedua, menjadi pemberitaan utama dan mendominasi agenda publik, menggeser perhatian dari isu-isu utama yang seharusnya dibahas dalam debat. Ini dapat memengaruhi cara pemilih membentuk pandangan mereka terhadap calon. Ketiga, menciptakan framing negatif terhadap calon dan mengubah persepsi publik terhadap karakter dan kompetensi mereka. Calon yang menggunakan kata-kata kurang sopan dapat dianggap melanggar prinsip etika komunikasi, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan menghormati lawan bicara. Ini dapat merusak hubungan dengan pemilih dan mengurangi kepercayaan masyarakat.  Keempat, merusak hubungan antara calon dan pemilih, karena interaksi interpersonal yang positif adalah kunci dalam membangun dukungan. Kelima, mengurangi keterlibatan pemilih karena mereka mungkin merasa bahwa politik tidak mencerminkan nilai-nilai atau etika yang mereka dukung.

Kata-kata yang kurang sopan tidak hanya dapat merusak efektivitas komunikasi, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif yang lebih luas pada partisipasi pemilih, citra calon, dan pembentukan opini publik.

Untuk itu perlu menjadi perhatian serius bagi paslon untuk debat berikutnya agar menjaga kesantunan. Dengan semakin meningkatnya kesantunan komunikasi, debat politik yang diharapkan dapat menjadi platform yang lebih efektif dalam menyampaikan ide dan visi calon pemimpin kepada publik.

Penulis : Dr. Ernita Arif, MSi (Dosen Ilmu Komunikasi UNAND)