Di era digital, panggung dakwah dan moralitas publik tidak lagi semata berada di masjid, forum pengajian, atau ruang-ruang institusional. Kini, media sosial telah menjelma menjadi arena utama untuk menyampaikan pesan-pesan religius, membangun afiliasi ideologis, dan menggerakkan komunitas berbasis emosi. Di Sumatera Barat—wilayah dengan akar budaya Islam yang kuat dan nilai lokal seperti Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK)—fenomena ini berlangsung secara khas dan terstruktur.
Yang terjadi bukan sekadar pergeseran medium, tetapi transformasi strategi komunikasi moral dalam kerangka populisme Islam digital. Para aktor religius-politik kini merancang narasi moral melalui pendekatan multiplatform—dengan mengkombinasikan karakteristik teknis, afektif, dan algoritmis dari berbagai kanal seperti Facebook, Instagram Reels, dan TikTok.
Setiap platform sosial digital memiliki watak dan logika interaksi yang unik. Strategi populisme Islam digital di Sumatera Barat memanfaatkan karakter ini secara sadar. Facebook, dengan kemampuannya menampung narasi panjang dan dokumentasi visual, berfungsi sebagai “arsip moral”—tempat nilai ABS-SBK dikukuhkan dalam bentuk teks panjang, dokumentasi kegiatan religius, hingga interaksi publik melalui komentar dan like. Di sini narasi kesalehan dan otoritas religius dikemas dalam estetika lokal: kutipan ayat, pakaian adat, hingga simbol-simbol syariah.
Sebaliknya, TikTok dan Instagram Reels berperan sebagai ruang untuk menyebarkan “spektakel moral” secara cepat dan emosional. Video berdurasi singkat bertema hijrah, pentingnya berjilbab, atau sedekah kepada kaum dhuafa, dikemas secara sinematik dengan musik latar religius, teks berjalan, dan efek visual yang menggugah. Dalam waktu kurang dari satu menit, penonton diajak merasakan empati, haru, atau bahkan rasa krisis terhadap kondisi moral umat.
Instagram, sebagai penghubung antara dua model di atas, menjadi ruang kurasi citra kesalehan: estetika dakwah, testimoni, dan cuplikan Reels digunakan untuk memperkuat kredibilitas moral sekaligus menciptakan narasi “gaya hidup religius”.
Funnel Moral: Dari Viralitas ke Konsolidasi
Di balik penggunaan berbagai platform ini, terdapat pola strategis yang disebut funnel moral: alur komunikasi digital yang mengarahkan emosi spontan menuju konsolidasi ideologis. TikTok dan Reels memantik afeksi awal. Emosi seperti kagum, takut akan azab, atau semangat hijrah dibangkitkan lewat visual yang cepat dan penuh efek. Namun konten ini jarang berdiri sendiri. Sebagian besar ditautkan ke platform lain—Facebook, YouTube, atau kajian daring—yang menawarkan narasi lebih panjang dan penjelasan yang lebih ideologis.
Di sinilah funnel bekerja. Emosi yang terbangkitkan tidak berhenti pada konsumsi visual, melainkan diarahkan untuk menjadi komitmen moral. Dalam proses ini, viralitas berperan sebagai pintu masuk, bukan tujuan akhir. Pengguna yang awalnya hanya “nonton untuk scroll” diarahkan untuk “klik dan ikut kajian”, atau bahkan menjadi bagian dari komunitas digital yang lebih terstruktur. Like dan share dimaknai bukan hanya sebagai tindakan teknis, melainkan bentuk sedekah digital—partisipasi dalam penyebaran nilai.
Model ini juga memungkinkan terjadinya koreografi emosi secara berlapis. Emosi yang dibangkitkan oleh video singkat dikukuhkan dalam narasi panjang. Testimoni dan komentar diperkuat oleh interaksi langsung via live streaming. Semua ini disusun dalam satu arsitektur komunikasi yang menciptakan perjalanan afeksi: dari kesan ke ikatan, dari keterhubungan ke loyalitas.
Dengan demikian, funnel moral adalah alat utama dalam reproduksi populisme Islam multiplatform. Ia menyusun pengalaman digital sebagai lintasan moral yang dapat dikelola, diukur, dan diarahkan. Ini bukan lagi hanya soal “siapa bicara apa”, tetapi “siapa mengatur emosi siapa, melalui kanal apa, dan untuk tujuan ideologis apa”.
Affordance Media dan Koreografi Emosi
Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada affordance masing-masing platform—yakni kemungkinan tindakan yang ditawarkan oleh arsitektur teknologinya kepada pengguna. Konsep ini penting untuk memahami bahwa media sosial tidak hanya menjadi saluran netral, tetapi ikut membentuk gaya dan arah komunikasi.
Facebook, misalnya, menawarkan ruang teks yang panjang, unggahan multimedia, serta kolom komentar yang memungkinkan interaksi terbuka. Affordance ini cocok untuk menyusun narasi moral yang kompleks dan historis, misalnya tentang pentingnya menjaga adat, kesalehan kolektif, atau bahaya dekadensi moral. Otoritas dibangun melalui kontinuitas simbolik dan visualisasi nilai ABS-SBK secara terstruktur.
Sebaliknya, TikTok dan Instagram Reels memiliki affordance yang mendorong performativitas: durasi pendek, fitur efek suara dan visual, serta algoritma yang mengedepankan keterlibatan. Konten-konten pada platform ini cenderung bersifat kinestetik dan emosional. Gambar hijab berkibar dalam gerakan lambat, sedekah difilmkan dalam close-up dramatis, dan teks seperti “Hijrah Now!” ditampilkan dalam animasi mencolok. Semua ini membentuk apa yang disebut sebagai emotional choreography—pengaturan ekspresi afektif publik untuk menghasilkan respons moral secara instan.
Dalam konteks ini, afeksi menjadi infrastruktur utama penyebaran pesan. Likes, komentar penuh pujian, dan share tinggi bukan hanya metrik teknis, tetapi simbol keterlibatan moral. Platform seperti TikTok tidak hanya memungkinkan dakwah untuk “viral”, tetapi juga memperkuat nilai yang resonan secara afektif—yang sering kali eksklusif dan menekankan pembeda antara “kita” dan “mereka”.
Namun affordance juga bersifat selektif dan koersif. Interaktivitas digital sering kali hanya terbuka untuk respons yang afirmatif. Kritik, perbedaan pandangan, atau tafsir alternatif terhadap nilai ABS-SBK kerap tidak diberi ruang atau dikubur oleh algoritma. Ini menciptakan apa yang disebut sebagai affective enclave—ruang digital yang homogen secara emosional dan ideologis, di mana penguatan satu versi moralitas terjadi tanpa deliberasi.
Lebih lanjut, algoritma rekomendasi personal memperkuat efek filter bubble. Pengguna yang berinteraksi dengan satu konten religius akan terus disuguhi konten serupa, memperkuat ilusi bahwa pendapat mereka adalah “suara publik”. Dengan demikian, platform tidak hanya menjadi alat distribusi, tetapi juga aktor epistemik: mereka membentuk horizon moral publik melalui seleksi algoritmis.
Strategi multiplatform dalam populisme Islam digital di Sumatera Barat menunjukkan bagaimana moralitas kini dibentuk, disebarkan, dan dipertahankan melalui arsitektur teknologis yang emosional dan terkoordinasi. Platform bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga medan pembentukan otoritas, afeksi, dan eksklusivitas simbolik. Ketika nilai-nilai lokal seperti ABS-SBK dikemas dalam format digital yang viral dan afektif, maka kita menyaksikan transformasi dakwah menjadi koreografi moral yang dipandu algoritma. Tantangannya kini bukan sekadar mengimbangi narasi, tetapi memastikan ruang digital tetap terbuka bagi perbedaan dan tidak dikendalikan oleh satu versi moralitas yang hegemonik.
Penulis: Yayuk Lestari, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas