Beberapa tahun terakhir, kita sedang menyaksikan satu transformasi penting dalam cara anak muda Indonesia mengambil peran dalam kehidupan publik. Mereka tidak menunggu masuk organisasi, tidak menunggu usia cukup untuk mencalonkan diri di partai, atau berharap dilibatkan dalam forum-forum kebijakan. Mereka memilih jalur yang mereka kuasai ruang digital. Dari balik layar ponsel, mereka berbicara, menulis, membuat video, dan menyebarkan cerita. Tapi yang mereka lakukan bukan sekadar berbagi; mereka sedang menyusun perlawanan. Dan perlawanan itu datang dari tempat yang sangat manusiawi, pengalaman sehari-hari, rasa frustrasi, dan dorongan untuk didengar.
Aktivisme digital sempat diremehkan. Disebut terlalu reaktif, dangkal, bahkan narsistik. Tapi realitas menunjukkan sebaliknya. Dari unggahan sederhana, dari kalimat-kalimat pendek yang ditulis dengan emosi mentah, dari potongan video berdurasi satu menit, gerakan mulai tumbuh. Tidak selalu besar, tidak selalu terorganisir, tapi konsisten mengusik tatanan. Isu-isu yang dulu sunyi kini menggema. Lembaga-lembaga yang dulu tak tersentuh kini dipertanyakan. Dan semua itu dimulai dari satu hal: cerita.
Salah satu contoh paling kuat datang dari gerakan #KawalPutusanMK yang ramai pada pertengahan 2024. Saat Mahkamah Konstitusi tengah mengkaji ulang sistem pemilu, publik khawatir akan adanya manuver politik di balik layar. Kekhawatiran itu langsung ditangkap oleh anak-anak muda yang aktif di Twitter, Instagram, dan TikTok. Tapi mereka tak sekadar ikut-ikutan marah. Mereka membuat utas panjang menjelaskan isu pemilu dalam bahasa sederhana. Mereka membuat infografis, meme, video opini, bahkan tutorial cara membaca dokumen putusan MK. Narasi digital itu membentuk tekanan publik yang nyata. Keputusan MK untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka tak bisa dilepaskan dari pengawasan kolektif yang begitu kuat di ruang digital.
Cerita lain datang dari Lampung. Bima Yudho, seorang pemuda pengguna TikTok dengan nama akun @awbimaxreborn, mengunggah video yang memperlihatkan buruknya infrastruktur jalan di kampung halamannya. Bukan video sinematik atau penuh efek, hanya rekaman sederhana dengan suara jujur yang marah. Tapi justru karena itu, videonya viral. Dalam waktu singkat, pejabat daerah disorot, media nasional mengangkat isu tersebut, dan pemerintah pusat turun tangan. Satu suara lokal, jika diceritakan dengan jujur dan disebarkan dengan cerdas, bisa menggerakkan perubahan.
Isu kekerasan seksual pun mendapat dorongan besar dari aktivisme digital. Kampanye #SahkanRUUPKS yang bergema selama bertahun-tahun akhirnya menemukan titik terang berkat tekanan yang terus dilakukan, terutama oleh anak-anak muda. Mereka tidak hanya menggunakan tagar, tapi juga membagikan pengalaman pribadi yang menyentuh, menyusun edukasi hukum, bahkan membangun komunitas daring untuk saling menguatkan. Di sinilah kita menyadari bahwa narasi personal bisa melampaui statistik. Ia menggugah. Ia menembus batas. Ia memaksa publik, media, dan negara untuk memperhatikan.
Memang, tak semua unggahan viral berakhir dengan perubahan kebijakan. Tapi aktivisme digital tidak selalu soal hasil instan. Kadang, ia adalah langkah awal langkah yang membuka percakapan, membangun kesadaran, dan mempersiapkan gerakan berikutnya.
Gerakan #GejayanMemanggil dan #ReformasiDikorupsi adalah bukti bagaimana aktivisme digital bisa menjelma menjadi aksi nyata. Dimulai dari tagar, lalu menjadi ajakan turun ke jalan. Anak-anak muda menyebarkan informasi soal lokasi demonstrasi, tuntutan aksi, hingga prosedur keamanan bagi peserta protes. Dunia maya dan dunia nyata akhirnya bertemu. Ini bukan sekadar retorika perlawanan, tapi kerja kolektif yang konkret.
Yang menarik, banyak dari mereka yang aktif bukan aktivis profesional. Mereka bukan anggota LSM, bukan tokoh partai. Mereka adalah mahasiswa biasa, pekerja lepas, konten kreator, penulis anonim. Tapi yang mereka bawa adalah rasa: rasa marah, rasa sedih, rasa tidak adil. Dan dari rasa itu lahirlah narasi. Dari narasi lahirlah perlawanan. Perlawanan yang tidak datang dari atas, tapi dari bawah. Dari luka, dari layar, dari keberanian bercerita.
Ada satu pola menarik dalam semua ini: bahwa politik yang sedang dibangun oleh anak muda sekarang adalah politik moral. Bukan moral dalam pengertian konservatif, tapi moral dalam arti keberpihakan pada kemanusiaan. Mereka bicara soal infrastruktur bukan karena ingin jadi insinyur, tapi karena jalan rusak bisa membunuh harapan. Mereka bicara soal kekerasan seksual bukan karena punya agenda ideologis, tapi karena mereka atau orang terdekat mereka pernah jadi korban. Mereka bicara soal demokrasi karena takut masa depan akan ditentukan tanpa mereka. Ini adalah politik yang tumbuh dari pengalaman hidup sehari-hari dan justru karena itu, sangat otentik.
Tentu, jalan yang mereka tempuh tidak selalu mulus. Banyak yang mengalami serangan balik: dibungkam, dihina, dilaporkan, bahkan diintimidasi. Dunia digital juga tidak steril dari kebencian, disinformasi, dan manipulasi algoritma. Tapi justru karena itulah penting untuk terus menulis, terus merekam, terus berbicara. Karena di antara semua kebisingan, selalu ada ruang untuk satu suara yang jujur.
Hari ini, anak-anak muda sedang mengajarkan kepada kita bahwa cerita bisa menjadi alat perlawanan. Mereka tidak butuh mikrofon besar. Cukup koneksi internet dan niat untuk tidak diam. Dan dari situlah, negeri ini mulai digerakkan kembali bukan oleh jargon, tapi oleh narasi.
Penulis: Diego (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)