Perang antara Iran dan Israel menjadi sorotan utama media dalam empat hari terakhir. Konflik ini dipicu oleh serangan mendadak Israel ke wilayah Iran yang menewaskan sejumlah elit Pasukan Garda Revolusi serta beberapa ilmuwan Iran. Israel mengklaim bahwa serangan tersebut merupakan tindakan pencegahan agar Iran tidak memiliki senjata nuklir. Dalam pernyataan resminya di PBB pada Selasa, 17 Juni 2025, diplomat Iran Amir Saeid Iravani menegaskan bahwa serangan Israel merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Ia menyatakan bahwa Iran belum memproduksi senjata nuklir dan program nuklir yang dimiliki selama ini semata-mata digunakan untuk kepentingan industri dan kebutuhan energi.

Tindakan militer Israel ini terjadi di tengah upaya diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negosiasi Amerika Serikat dengan Iran terkait pengayaan uranium. Padahal, Iran merupakan salah satu negara yang telah menandatangani perjanjian internasional untuk tidak mengembangkan senjata nuklir dan menggunakan energi nuklir secara damai. Non-Proliferation Treaty (NPT) atau Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir adalah kesepakatan internasional yang ditandatangani pada 1968 dan mulai berlaku pada 1970. Tujuannya untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan mendorong penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. NPT memiliki 190 negara anggota. Dalam perjanjian ini hanya lima negara yang diakui secara resmi boleh memiliki senjata nuklir, yakni Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis.  Negara-negara lain, termasuk Iran, hanya diizinkan mengembangkan program nuklir sipil di bawah pengawasan ketat Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Proses Jalannya Perang

Pada hari pertama, Jumat (13/6/2025), konflik dimulai dengan serangan mendadak Israel yang menewaskan sejumlah tokoh penting Iran yaitu kepala korps elite Garda Revolusi Iran Hossein Salami dan kepala staf angkatan bersenjata Iran Mohammad Bagheri. Di samping itu, ada enam ilmuwan nuklir strategis yang turut tewas dalam serangan tersebut yaitu Abdolhamid Minouchehr, Ahmadreza Zolfaghari, Amirhossein Feqhi, Motalleblizadeh, Mohammad Mehdi Tehranchi, dan Fereydoun Abbasi. Serangan ini langsung memicu respons balasan dari Iran, yang menembakkan rudal ke ibu kota Israel, Tel Aviv. Kedua belah pihak mengalami kerugian dan kerusakan signifikan, yang dengan cepat menjadi perhatian media internasional.

Memasuki hari kedua, Israel meningkatkan eskalasi dengan meluncurkan serangan udara besar-besaran menggunakan jet tempur canggih F-35 ke berbagai wilayah penting di Teheran, ibu kota Iran. Iran tidak hanya sukses menembak jatuh dua jet tempur canggih F-35 Israel, tetapi juga membalas dengan meluncurkan rudal-rudal canggih berskala lebih besar ke wilayah Israel terutana ke Ibukota Tel Aviv. Iran menggunakan rudal balistik seperti Emad, Ghadr-1, dan rudal hipersonik pertama Fattah-1. Rudal-rudal ini juga dipakai Iran dalam serangan hari pertama. Rudal-rudal ini diciptakan dengan desain sedemikian rupa sehingga bisa bermanuver sangat cepat mengubah lintasan termasuk menggocek rudal-rudal Iron Dome Israel. Emad dan Ghadr merupakan rudal balistik jarak menengah. Emad memiliki hulu ledak yang bisa bermanuver dan mampu melakukan perubahan selama terbang sehingga menciptakan hasil target yang presisi. Sementara itu, Fattah bisa melaju dengan kecepatan 15 kali lipat dari kecepatan suara dengan jangkauan hingga 1.400 kilometer. Rudal jenis ini juga kemampuan mengubah lintasan sehingga bisa sulit dicegat. Iran juga menggunakan rudal Kheibar Shekan yang merupakan peluru kendali yang dilengkapi sirip kontrol dan navigasi satelit sehingga membuat mereka punya kemampuan presisi dan bermanuver di dalam atmosfer. Dampak rudal-rudal ini sangat merusak. Infrastruktur hancur di banyak titik di Israel. Namun, sejumlah elit serta ilmuwan Iran kembali menjadi target di hari kedua.

Hari ketiga menunjukkan pola yang sama, tetapi dengan intensitas yang lebih tinggi. Israel terus menggempur wilayah Iran dengan serangan udara, sementara Iran membalas menggunakan teknologi rudalnya yang terlihat sangat cepat menukik dari langit dan menghantam wilayah Israel secara presisi. Kedua negara mengalami kerugian besar, baik dari sisi militer maupun sipil, dan suasana semakin mencekam. Pada hari keempat, Israel kembali melancarkan serangan ke berbagai titik strategis di Iran. Iran pun menanggapi dengan peluncuran rudal dalam jumlah besar. Meskipun kedua belah pihak mengalami kerusakan infrastruktur yang relatif seimbang, korban jiwa di pihak Iran jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh sistem perlindungan sipil Israel yang lebih canggih seperti penggunaan bunker bawah tanah yang tersembunyi di balik bangunan-bangunan kota.

Perang yang berlangsung selama empat hari ini menunjukkan eskalasi militer yang cepat dan destruktif. Meskipun kedua negara sama-sama mengalami kehancuran fisik dan trauma psikologis, dampak terbesar dirasakan oleh masyarakat sipil di Iran dan Israel. Dunia internasional pun semakin berharap agar gencatan senjata segera dilakukan demi mencegah meluasnya konflik yang dapat mengancam stabilitas kawasan. Sinyal inisiatif gencatan senjata ini telah disampaikan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi secara terbuka. Tetapi, Israel seolah jemawa menolak menyambut tawaran in di satu sisi, di sisi lain, tidak ada dorongan kuat dari komunitas internasional terutama negara-negara Barat.

Mengapa Israel Berani Menyerang

Keberanian Israel dalam menyerang Iran tidak lepas dari keyakinan atas keberhasilan operasi infiltrasi intelijennya, terutama yang dijalankan oleh Mossad. Badan intelijen ini diketahui telah lama menanamkan jaringannya di dalam negeri Iran, termasuk di ibu kota Teheran. Mereka memanfaatkan penduduk lokal sebagai kaki tangan dan berhasil menyusupkan peralatan militer termasuk komponen drone ke wilayah Iran. Dalam operasi yang sangat terorganisir, Mossad dilaporkan menyelundupkan dan merakit sejumlah drone serang di dalam wilayah Iran. Rencana ini memungkinkan mereka melancarkan serangan dari dalam negeri Iran sendiri, memberikan keuntungan taktis yang besar. Selain itu, Mossad juga telah memetakan lokasi-lokasi strategis serta identitas para elit militer dan ilmuwan Iran yang dijadikan target utama.

Namun, keunggulan ini tidak bertahan lama. Dalam dua hari terakhir, unit intelijen Iran mulai membalikkan keadaan. Mereka berhasil melacak dan menghentikan sebuah kendaraan truk yang membawa puluhan drone siap pakai, serta menggerebek tempat perakitan drone, produksi bom, bahan peledak, jebakan, dan peralatan elektronik yang tersembunyi di Teheran. Sebagai respons tegas, otoritas Iran menangkap dua agen Mossad yang beroperasi di Savojbolagh, Provinsi Alborz, utara Iran. Setelah melalui proses interogasi militer, salah satunya agen Mossad bernama Esmaeil Fekri dieksekusi. Hal ini menandai titik balik perlawanan Iran terhadap infiltrasi intelijen Israel di dalam negerinya dalam empat hari perang intensif ini.

Peluang Intervensi Amerika

Dalam empat hari terakhir, perang antara Iran dan Israel menunjukkan kekuatan yang relatif seimbang. Kedua negara mengerahkan strategi militer terbaik mereka, tetapi posisi Israel mulai terlihat melemah. Jet-jet tempur F-35 Israel yang selama ini menjadi simbol superioritas militer mulai kehilangan keunggulannya di hadapan rudal-rudal canggih Iran yang begitu cepat dan merusak. Hanya dalam hitungan hari, Iran mampu menggempur Tel Aviv hingga menyerupai kondisi Gaza yang hancur. Meski begitu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tetap membangun narasi propaganda militer. Ia secara naif mengklaim bahwa Israel telah berhasil mengontrol wilayah udara Iran. Namun kenyataannya, beberapa jet tempur Israel yang paling canggih justru berhasil ditembak jatuh oleh sistem pertahanan Iran, mematahkan klaim kemenangan udara yang coba dibangun Netanyahu.

Dalam tekanan psikologis dan militer yang terus meningkat, Netanyahu tampak mengirim sinyal kepada Donald Trump agar Amerika segera turun tangan membantu sebagai negara aliansi geo-politik di Timur Tengah. Namun, di dalam negeri, Trump menghadapi tekanan yang tidak kalah berat. Tokoh politik seperti Bernie Sanders secara terbuka memperingatkan agar Amerika tidak terseret ke dalam konflik yang dipicu oleh manuver agresif Netanyahu, yang jelas melanggar hukum internasional.

Jika Trump memutuskan untuk mencuci piring kotor Netanyahu, Amerika Serikat bisa jadi menunjukkan kekuatan geopolitiknya sebagai negara adidaya. Namun, secara moral, langkah tersebut akan mengundang kecaman global dan memperburuk citra Amerika. Selain itu, negara-negara pendukung Iran seperti Rusia, Cina, dan Pakistan kemungkinan besar tidak akan tinggal diam. Dalam konteks ini, posisi paling strategis dan menguntungkan bagi Amerika adalah mendorong gencatan senjata, menghentikan jatuhnya korban sipil, dan membawa kedua pihak kembali ke jalur diplomasi serta hukum internasional.

Pelajaran Penting

Perang yang berlangsung selama empat hari memberikan sejumlah pelajaran penting bagi kedua belah pihak, terutama Iran. Salah satu catatan utama adalah perlunya peningkatan sistem keamanan intelijen secara menyeluruh. Banyaknya korban dari kalangan elit militer dan ilmuwan Iran menjadi bukti nyata bahwa telah terjadi kebocoran informasi dan kelengahan dalam menghadapi infiltrasi intelijen Israel, Mossad. Iran harus memperkuat pertahanan internalnya agar kejadian serupa tidak terulang.

Di sisi lain, Israel juga mendapatkan pelajaran berharga dari eskalasi konflik ini. Kecenderungan untuk meremehkan kapasitas pertahanan militer dan intelijen Iran terbukti sebagai kesalahan besar. Iran tidak hanya mampu merespons dengan cepat, tetapi juga menunjukkan kemampuan militer dan intelijennya yang jauh lebih terorganisir dan presisi dalam meluncurkan rudal balasan dan mematahkan inflitrasi dari dalam. Serangan balasan Iran tersebut menyebabkan kerusakan besar di jantung kota-kota penting Israel, mematahkan skenario intelijen Mossad mampu menggoyang kepercayaan publik terhadap dominasi militer dan intelijen Israel.

Alhasil, ambisi militer Israel yang mengabaikan norma dan hukum internasional hanya memperkeruh posisi diplomatiknya di mata dunia. Respons Iran yang cepat terhadap serangan dan inflitrasi memperlihatkan bahwa negara itu tidak bisa dianggap remeh, baik dalam segi kekuatan militer, intelijen maupun strategi diplomatik. Ke depan, kedua negara perlu menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada kemampuan menyerang, tetapi juga dalam menjaga stabilitas dan menghindari perang terbuka demi keamanan kawasan dan dunia.

Penulis: Muhammad Thaufan Arifuddin, Dosen Komunikasi Internasional Fisip UNAND