Akhir pekan seharusnya menjadi momen bersantai. Tapi di Pantai Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Sabtu (6/4) lalu, suasana berubah duka. Sebanyak 16 remaja terseret ombak saat menikmati liburan di pantai yang tampak tenang itu. Empat orang dinyatakan meninggal dunia, sementara lainnya sempat hilang dan berhasil diselamatkan. Tragedi ini bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir, jika kita masih mengabaikan satu hal penting: tanggung jawab dalam pengelolaan destinasi wisata.

Pantai Indah, Tapi Bahaya Mengintai

Pantai Tiku adalah salah satu destinasi andalan Kabupaten Agam. Setiap akhir pekan atau musim libur, kawasan ini dipadati pengunjung. Tapi apakah kawasan ini benar-benar siap menerima wisatawan dalam jumlah besar? Apakah tersedia petugas penjaga pantai? Apakah ada rambu peringatan zona berbahaya? Apakah wisatawan diberikan informasi cukup tentang karakteristik ombak, arus laut, atau area rawan? Jawabannya, seperti yang kita saksikan, sering kali tidak.

Dalam kasus di Pantai Tiku, warga dan relawan berinisiatif melakukan pertolongan, bukan tim penyelamat professional yang seharusnya sudah siap di lokasi wisata. Ini menjadi tamparan keras bagi sistem pengelolaan pariwisata kita yang sering hanya berfokus pada menarik wisatawan, tapi lupa pada aspek keselamatan dan mitigasi risiko.

Gairah Wisata, Tapi Lengah

Indonesia sedang giat-giatnya mendorong sektor pariwisata sebagai motor ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor pariwisata Indonesia terus menunjukkan geliat pertumbuhan yang menjanjikan. Daerah-daerah berlomba-lomba mempercantik pantai, bukit, air terjun, hingga spot swafoto. Pemerintah daerah berlomba memperkenalkan destinasi baru, media sosial menjadi mesin promosi tak terbendung, dan pengunjung dari dalam maupun luar negeri berbondong-bondong menjelajahi eksotisme alam dan budaya Nusantara. Namun, semangat promosi dan branding itu tidak selalu dibarengi dengan peningkatan kapasitas pengelolaan.

Wisatawan yang datang untuk bersenang-senang, sebagian mengalami kenyataan pahit: kurangnya profesionalisme dalam pengelolaan destinasi wisata yang telah merenggut banyak korban. Tebing yang runtuh, jembatan yang patah, perahu wisata yang tenggelam, hingga jalur pendakian yang minim rambu dan penyelamatan darurat kabar duka dari sektor wisata datang silih berganti. Alih-alih menjadi ruang rekreasi yang menyegarkan, sejumlah destinasi justru menjelma menjadi perangkap maut karena kelalaian dalam tata kelola.

Pariwisata bukan sekadar soal ramai atau viral. Ini soal tanggung jawab. Ketika kita mengundang masyarakat datang ke suatu tempat, maka ada beban moral dan hukum untuk memastikan mereka aman. Tak cukup hanya pasang spanduk nama objek wisata. Diperlukan infrastruktur penunjang: petugas terlatih, papan informasi, jalur evakuasi, dan SOP kedaruratan yang bisa dijalankan kapan pun.

Romantisme Wisata, Realita yang Terlupakan

Dalam euforia mengejar “spot Instagramable” dan geliat ekonomi pariwisata, aspek keselamatan, kenyamanan, dan keramahan sering kali terpinggirkan. Banyak lokasi wisata dibuka tanpa studi kelayakan, tanpa SOP keselamatan, bahkan tanpa petugas yang terlatih menghadapi situasi darurat. Pengelolaan pun kerap diserahkan kepada komunitas lokal tanpa pendampingan kapasitas yang memadai, dengan harapan pariwisata berbasis masyarakat dapat berdiri sendiri padahal tidak sesederhana itu. Pertumbuhan destinasi wisata tanpa regulasi yang ketat justru membuka celah baru bagi risiko. Wisatawan tidak hanya butuh keindahan, mereka butuh jaminan keamanan dan keramahan layanan. Ketika unsur itu diabaikan, maka pariwisata berubah menjadi sektor yang rawan krisis.

Lemahnya Tata Kelola dan Standarisasi

Salah satu akar persoalan adalah belum adanya standarisasi pengelolaan destinasi wisata yang diterapkan secara merata dan mengikat. Sistem audit keselamatan nyaris absen, sementara insiden hanya ditanggapi reaktif tanpa mekanisme pembelajaran. Padahal, pariwisata bukan sekadar urusan promosi dan event. Ia memerlukan regulasi teknis, desain infrastruktur yang sesuai, serta pelatihan berkelanjutan bagi petugas lapangan. Hal ini diperparah dengan minimnya kolaborasi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan komunitas. Banyak pihak bergerak sendiri-sendiri, saling menunggu, atau justru saling lempar tanggung jawab ketika terjadi kecelakaan.

Menuju Tata Kelola yang Bertanggung Jawab

Pariwisata yang berkelanjutan harus berakar pada keselamatan dan kenyamanan pengunjung atau pengelolaan dengan pendekatan High Safety Engagement (HiSE). Tiga prinsip utama yang perlu ditegakkan adalah: profesionalisme pengelolaan, akuntabilitas tata kelola, dan keterlibatan aktif masyarakat dengan kapasitas yang diperkuat. Pemerintah daerah perlu menyiapkan regulasi teknis berbasis risiko yang diwajibkan bagi setiap pengelola destinasi. SOP keselamatan, audit rutin, pelatihan darurat, serta integrasi dengan layanan medis dan SAR harus menjadi bagian dari standar minimum. Selain itu, edukasi wisatawan tentang potensi risiko dan etika berwisata juga perlu diperluas. Media dan influencer perlu lebih bertanggung jawab dalam membingkai promosi wisata. Keindahan destinasi harus dibarengi informasi yang jujur mengenai akses, kesiapan fasilitas, serta batasan keselamatan.

Saatnya Serius: Liburan Tak Harus Berujung Luka

Tragedi seperti di Tiku bukanlah insiden semata. Ia adalah gejala dari sistem yang lemah. Kita tidak bisa terus bersikap reaktif, sibuk memberi pernyataan "berduka" setelah korban jatuh, lalu kembali lupa. Sudah waktunya pemerintah daerah, pengelola wisata, bahkan masyarakat ikut bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan bersama.

Beberapa langkah penting yang bisa dilakukan antara lain: Mewajibkan audit keselamatan di setiap destinasi wisata, menyediakan pelatihan dasar penyelamatan dan evakuasi bagi pengelola, menempatkan petugas berjaga di titik rawan, seperti pantai dan jalur pendakian., memasang papan peringatan yang jelas dan edukatif, bukan hanya “dilarang berenang” yang mudah diabaikan, membangun sistem koordinasi cepat dengan tim sar dan layanan medis setempat.

Kesimpulan: Tumbuh, Tapi Jangan Abai

Pariwisata berkualitas dimulai dari rasa aman. Jika kita ingin sektor pariwisata menjadi andalan, maka kualitas dan keselamatan harus menjadi fondasinya. Tidak ada tempat wisata yang benar-benar indah jika menyimpan potensi kehilangan nyawa. Kita harus berani berkata bahwa wisata yang baik bukan hanya soal panorama, tapi juga soal pulang dengan utuh dan bahagia. Jangan tunggu tragedi berikutnya untuk sadar. Jangan sampai harapan wisata yang menyenangkan justru menjadi kenangan terakhir yang menyedihkan.

Pertumbuhan sektor pariwisata adalah berkah ekonomi yang nyata. Namun jika tidak diiringi dengan tanggung jawab dan tata kelola yang profesional, maka destinasi yang seharusnya membahagiakan justru bisa menjadi tempat kehilangan. Sudah saatnya kita berhenti memuliakan angka kunjungan tanpa memperhatikan kualitas pengelolaan. Karena wisata yang baik bukan hanya soal datang dan berfoto, tapi tentang pulang dengan selamat dan ingin kembali lagi.

Penulis: Dr. Syamsul Bahri, ST. MM Alumni S3 Ekonomi Universitas Andalas