Padang (UNAND) – Fakultas Hukum Universitas Andalas mengadakan kuliah umum bersama Prof. Dr. Stefan Koos, Chair of Private Law & International Business Law, Bundeswehr University Munich, pada Rabu (20/8) di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum. Kuliah umum ini mengangkat tema “Artificial Intelligence, Law and Scientific Fiction: A Legal Perspective on Speculative Future.”

Kuliah umum ini merupakan agenda rutin yang setiap tahunnya disampaikan oleh Prof. Stefan Koos di Fakultas Hukum, dengan topik yang berbeda sesuai dengan isu-isu hukum dan teknologi terkini. Acara dibuka oleh Dr. Nani Mulyati, S.H., LL.M, Wakil Dekan I Fakultas Hukum UNAND.

Ia menyampaikan bahwa tema yang diangkat sangat relevan dengan perkembangan hukum global saat ini. Menurutnya, hukum tidak bisa dilepaskan dari pengaruh teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang semakin berkembang pesat dan berdampak langsung pada tujuan hukum itu sendiri.

“Hukum harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tidak tertinggal. Saya berharap kuliah umum ini dapat membuka wawasan kita semua sehingga mampu menyelaraskan hukum dengan teknologi, sekaligus mematahkan stigma bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan teknologi,” ujar Dr. Nani.

Kuliah umum ini dipandu oleh Sri Oktavia, S.H., MSc., Ph.D. selaku moderator. Dalam pemaparannya, Prof. Stefan Koos menegaskan bahwa AI tidak dapat dan tidak boleh menggantikan peran manusia dalam menentukan arah hidup, membuat keputusan moral, maupun mengatur bagaimana masyarakat seharusnya berjalan.

“Artificial Intelligence tidak memiliki hak untuk memutuskan apa yang harus manusia lakukan, bagaimana melakukannya, dan bagaimana hidup harus dijalani,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa ketidaksempurnaan AI justru menjadikannya sempurna untuk ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pengambil keputusan utama. AI, menurutnya, tidak memiliki perasaan dan tidak mampu menimbang aspek moral maupun etis dari hukum, sehingga keputusan berbasis AI tidak bisa menggantikan sentuhan kemanusiaan dalam praktik hukum.

Lebih lanjut, Prof. Koos membahas potensi risiko jika AI diberikan kewenangan penuh dalam sistem hukum, termasuk kemungkinan lahirnya keputusan yang kaku dan tidak berkeadilan karena hanya mengandalkan algoritma.

Menutup pemaparannya, Prof. Koos menekankan beberapa poin penting:

  1. Fiksi ilmiah (science fiction) dapat berperan sebagai peringatan kritis sekaligus sumber inspirasi inovasi dalam memahami masa depan hukum dan teknologi.
  2. Regulasi yang berlebihan (over-regulation) berpotensi menghambat perkembangan, sedangkan regulasi yang terlalu longgar (under-regulation) berisiko menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.
  3. Dalam tata kelola AI, dunia saat ini menghadapi tarik menarik antara “Washington Effect” yang cenderung pro-pasar dan “Brussels Effect” yang lebih ketat pada aspek perlindungan.
  4. Akhirnya, masa depan hukum AI akan sangat ditentukan oleh pilihan masyarakat: apakah akan membiarkan teknologi mengambil alih, atau menempatkan teknologi sebagai instrumen yang tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Kuliah umum ini juga diikuti dengan sesi diskusi dengan mahasiswa. Diskusi yang berlangsung hangat menunjukkan adanya kebutuhan nyata bagi para akademisi hukum di Indonesia untuk terus memperbarui pengetahuan dalam menghadapi era digital dan transformasi teknologi hukum.(*)

Humas, Protokol, dan Layanan Informasi Publik