Padang (UNAND) - Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas Dr. Aidinil Zetra, menyampaikan kegelisahan intelektual tentang arah demokrasi Indonesia. Hal itu, disampaikannya dalam orasinya pada peringatan Dies Natalis ke-32 pada Selasa (20/5) di Gedung Convention Hall Kampus Limau Manis. Ia menyoroti stagnasi demokrasi pasca-Reformasi yang cenderung prosedural namun kehilangan substansi.
“Demokrasi kita hidup, tetapi tak bernyawa. Ia hadir dalam bentuk pemilu rutin, namun kosong dari makna deliberatif. Apa yang kita jalankan selama ini hanyalah ritual tanpa ruh,” tegasnya.
Dr. Aidinil menyebut bahwa sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998, Indonesia telah menempuh jalan panjang dalam membangun tata kelola yang lebih demokratis. Namun, dua dekade kemudian, kualitas demokrasi justru mengalami kemunduran. Ia mengutip indeks dari Freedom House, EIU, dan BTI yang secara konsisten menempatkan Indonesia sebagai “demokrasi cacat” atau “sebagian bebas”.
Dalam paparannya, ia menyampaikan demokrasi elektoral tidak cukup untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. “Yang kita perlukan bukan hanya suara, tetapi ruang bicara bersama. Demokrasi sejati tidak berhenti di kotak suara, melainkan harus dilanjutkan dengan musyawarah dan diskusi publik yang mendalam,” jelasnya yang juga menjabat sebagai Sekretaris Universitas.
Mengusung konsep demokrasi deliberatif, Dr. Aidinil menjelaskan legitimasi sebuah kebijakan seharusnya tidak hanya lahir dari suara mayoritas, tetapi dari dialog inklusif dan rasional. Ia menekankan pentingnya menghadirkan ruang deliberasi yang sehat dan representatif bagi semua kelompok masyarakat.
Ia juga menyoroti tantangan nyata dalam mewujudkan demokrasi deliberatif di Indonesia, mulai dari dominasi elit dalam forum-forum musyawarah seperti Musrenbang, keterbatasan kapasitas masyarakat, hingga ketidakpercayaan publik terhadap proses formal yang dianggap simbolik belaka.
“Bukan hanya para elite yang kerap memonopoli keputusan, tetapi kelompok rentan bahkan memilih tidak hadir karena merasa suaranya tidak didengar. Ini adalah kegagalan sistemik,” ujarnya.
Sebagai solusi, ia mendorong integrasi antara demokrasi elektoral dan demokrasi deliberatif, seperti yang dilakukan Brasil dan Kanada. Brasil dengan Participatory Budgeting dan konferensi publik nasionalnya, serta Kanada dengan citizens’ assembly yang memberi peran besar bagi warga biasa dalam penyusunan kebijakan.
“Indonesia tak harus meniru, tapi bisa menumbuhkan demokrasi dari akarnya sendiri. Musyawarah, rembug warga, dan gotong royong adalah warisan lokal yang bisa diperkuat dengan prinsip-prinsip modern deliberasi,” tambahnya.
Orasi ini ditutup dengan harapan agar demokrasi Indonesia tidak hanya menjadi angka partisipasi pemilu, tetapi menjadi symphony suara rakyat dalam kebijakan publik.
“Bayangkan suatu hari nanti, suara seorang petani di pelosok bisa bergema hingga ke ruang keputusan nasional. Itulah demokrasi yang kita perjuangkan demokrasi yang hidup, bernyawa, dan bermakna,” pungkas Dr. Aidinil.(*)
Humas, Protokol, dan Layanan Informasi Publik