Di tengah kekhawatiran dan panasnya debat soal sistem pemilu, MK menghadirkan putusan yang mampu menenangkan suasana. Permohonan untuk mengganti sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup ditolak. Dengan demikian, pemilu legislatif 2024 tetap dilaksanakan menggunakan sistem proporsional terbuka. Bagi pendukung proporsional tertutup, putusan setebal 735 halaman ini tentu mengecewakan. Sebaliknya bagi pendukung proporsional terbuka putusan tersebut tentu sangat menggembirakan. Terlepas ada yang puas dan tidak puas, harus diakui bahwa untuk kondisi saat ini, putusan tersebut sudah sangat tepat.

Dikatakan demikian karena putusan dimaksud sepenuhnya tunduk pada nalar hukum dan kebijaksanaan yang memang harus demikian adanya. Bagaimana mungkin MK dapat mengabulkan permohonan mengubah sistem pemilu hanya dengan mengabulkan pengujian tujuh pasal saja dalam UU Pemilu? Sementara konstruksi normatif UU Pemilu tersebut dibangun di atas logika sistem proporsional terbuka. Bila dikabulkan, putusan MK justru akan dituduh menjadi penyebab terjadinya kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah berjalan.

Selain itu, MK juga telah menjawab kekhawatiran dan anggapan bahwa institusi peradilan itu tengah masuk dalam skenario kecurangan penyelenggaraan pemilu 2024. Putusan tersebut setidaknya menjadi modal penting bagi MK untuk tetap menjadi peradilan konstitusi yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilu 2024 nanti. Kepercayaan ini begitu amat berharga mengingat legitimasi pemilu salah satunya disandarkan pada kewibawaan lembaga peradilan sengketa hasil pemilu itu sendiri.

Selanjutnya bila dibaca secara lengkap, ditolaknya permohonan perubahan sistem pemilu didasarkan atas sejumlah argumentasi berbasis data-data yang sangat kuat. Tuduhan bahwa sistem proporsional terbuka sebagai penyebab terjadinya berbagai masalah dalam pemilu seperti politik uang, melemahnya institusi parpol, membahayakan NKRI, pragmatisme caleg, dan menimbulkan kerumitan penyelenggaraan, dibantah dengan data-data yang jelas dan terukur. Bahkan MK mengiringi setiap pertimbangannya dengan rekomendasi perbaikan yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan yang ada tanpa harus mengubah sistem pemilu.

Pendirian MK ini hendak menegaskan bahwa sudah saatnya setiap elemen bangsa, terutama para pihak yang berkepentingan dengan pemilu tidak selalu mengambinghitamkan sistem pemilu ketika terjadi berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Mestinya, solusi atas masalah dalam sistem itulah yang harus dipikirkan dan diadopsi dalam regulasi.

Sejalan dengan itu, dari segala argumentasi yang dibentangkan dalam putusan tersebut dapat dibaca bahwa sikap MK sangat tegas, yaitu perkuat sistem proporsional terbuka. Jalannya, UU Pemilu perlu dievaluasi, terutama terkait perlunya mengadopsi pemilihan pendahuluan dalam rangka penentuan nomor urut calon, syarat bahwa calon anggota legislatif mesti orang yang telah menjadi anggota parpol dalam waktu tertentu, dan penguatan mekanisme penanganan politik uang dalam pemilu. Apabila gagasan MK yang dimuat dalam pertimbangan putusan ini betul-betul diadopsi, berbagai kelemahan sistem proporsional terbuka diyakini dapat dieliminasi. Hanya saja, langkah ini tentu menuntut adanya kehendak politik (political wiil) pembentuk undang-undang. Jika tidak, segala kelemahan sistem proporsional terbuka tentunya tidak akan terjawab. MK telah memberikan kerangka, tinggal pembentuk undang-undang menindaklanjutinya.

Lebih jauh, berangkat dari kerangka berpikir bahwa setiap sistem pemilu memiliki kelebihan dan kelemahan, MK juga membuka ruang  untuk melakukan perbaikan sistem pemilu. Sehubungan dengan itu, MK menggariskan lima kerangka dasar. Pertama, tidak terlalu sering melakukan perubahan, sehingga dapat diwujudkan kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilu. Kedua, kemungkinan untuk melakukan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilihan umum yang sedang berlaku terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Ketiga, kemungkinan perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilihan umum dimulai, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan. Keempat, kemungkinan perubahan tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Kelima, apabila dilakukan perubahan tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Dari lima kerangka di atas, MK mengarahkan untuk tidak melakukan perubahan sistem pemilu, melainkan lebih menekankan agar pembentuk undang-undang memilih untuk membenahi kelemahan sistem proporsional terbuka yang diterapkan hari ini. Kalau begitu, dapat juga dimaknai bahwa MK pada dasar telah menutup atau setidak-tidaknya mempersempit jalan untuk mengganti sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.

Penulis : Dr. Khairul Fahmi (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas, telah terbit pada Media Indonesia 16 Juni 2023)