Dalam Rancangan RPJPN 2025-2045 telah diuraikan visi, misi dan sasaran utama pencapaian Visi Indonesia Emas 2045. Visi Indonesia Emas 2045 adalah Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan.  Visi ini nanti akan tercermin dalam atau oleh pencapaian sasaran utama pencapaian visi tersebut. Sasaran Utama Pencapaian Visi Indonesia Emas 2045 mencakup :

  1. Pendapatan per kapita setara negara maju;
  2. Kemiskinan menuju nol persen dan ketimpangan berkurang;
  3. Kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat;
  4. Daya saing sumber daya manusia meningkat; dan
  5. Intensitas emisi GRK menurun menuju emisi nol netto (net zero emission).

Sasaran utama tersebut diwujudkan dengan melakukan transformasi sosial, ekonomi dan tata kelola. Transformasi tersebut dilandaskan pada pelaksanaan misi: Supremasi hukum, stabilitas dan ketangguhan diplomasi; dan misi ketahanan sosial, budaya dan ekologi. Pelaksanaan misi tersebut ditandai dengan terwujudnya stabilitas nasional, di mana stabilitas nasional tersebut hanya dapat diwujudkan bila ditopang supremasi hukum, demokrasi substansial, keamanan nasional dan stabilitas ekonomi.

Lebih jauh, dalam Rancangan RPJPN 2025-2045 juga telah digambarkan bahwa sumpremasi hukum, stabilitas dan ketangguhan diplomasi ditempatkan sebagai salah satu upaya superprioritas untuk landasan transformasi. Adapun agenda superprioritas di bidang hukum adalah transformasi kelembagaan hukum, utamanya badan tunggal perumus regulasi dan kelembagaan keamanan nasional.

Selanjutnya juga telah dielaborasi aspek transformasi tata kelola yang berkaitan dengan agenda pembangunan hukum, di mana transformasi tata kelola ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kelembagaan yang dapat menghasilkan regulasi yang adaptif dan taat asas serta tata kelola yang terintegrasi, tangkas dan kolaboratif. Regulasi yang adaptif diturunkan lebih jauh ke dalam beberapa sasaran besar sebagai berikut :

  1. pembaharuan hukum kolonial dan adaptif serta penyederhanaan regulasi;
  2. penguatan penindakan tindak pidana korupsi menuju zero corruption;

Arah kebijakan untuk mencapai sasaran tersebut adalah :

  1. transformasi kelembagaan hukum utamanya pembentukan badan tunggal perumus regulasi;
  2. penguatan penegakan hukum dengan reformasi lembaga penegak hukum melalui teknologi informasi untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas;
  3. pengembangan sistem pemulihan aset;
  4. transformasi akses terhadap keadilan dan perlindungan HAM;
  5. penguatan inklusivitas dan pencegahan politik uang dan identitas.

Adapun indikator utama pembangunan yang digunakan, khususnya dibidang transformasi tata kelola dan supremasi hukum adalah sebagai berikut :

Berangkat dari apa yang sudah dituangkan dalam rancangan RPJPN 2025-2045, selanjutnya akan disampaikan sejumlah catatan penajaman, khususnya pada aspek pembangunan hukum untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.  

Pokok-pokok Pikiran Penajaman

Sebagai salah satu landasan transformasi ekonomi, sosial dan tata kelola, visi pembangunan hukum untuk menunjang pencapaian Visi Indonesia Emas 2045 harus disusun sesuai kerangka negara hukum demokratis yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Negara hukum adalah negara di mana supremasi hukum, prinsip persamaan di hadapan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di junjung tinggi.

Esensi negara hukum sesuai prinsip rule of law tidak lain adalah bahwa negara mesti memiliki hukum yang adil, kekuasaan negara tidak berpusat di satu tangan melainkan terdistribusi sesuai prinsip pemisahan kekuasaan, semua orang termasuk penguasa negara tunduk pada hukum, semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum, dan hak-hak dasar rakyat dijamin dan dilindungi oleh negara.

Lon Fuller berpendapat bahwa untuk tercipta atau tegaknya rule of law terdapat beberapa indikator, yaitu:

  1. Hukum harus diikuti oleh semua orang, termasuk penguasa.
  2. Hukum harus dipublikasikan.
  3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut.
  4. Kaidah hukum mesti ditulis secara jelas, sehingga diketahui dan diterapkan secara benar.
  5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-kontradiksi.
  6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin terpenuhi.
  7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian hukum.
  8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.

Prinsip-prinsip rule of law tersebut mesti dijadikan kerangka berpikir dalam menentukan arah pembangunan hukum sebagai landasan transformasi ekonomi, sosial dan tata kelola. Lebih lanjut, prinsip-prinsip rule of law dapat dilihat lebih jauh pada masing-masing subsistem hukum yang di kemukakan Gustav Radbruch, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Pertama, substansi hukum. Pada aspek ini telah dirumuskan satu sasaran besar aspek transformasi tata kelola, yaitu pembaharuan hukum kolonial dan adaptif serta penyederhanaan regulasi.

Terkait hukum kolonial, terakhir kali hukum kolonial yang paling berat dan lama memperbaiki adalah hukum pidana. Saat ini, upaya ini telah tercapai dengan telah disahkannya KUHP Baru. Kalau pun masih terdapat hukum sisa kolonial, itu hanya terkait hukum acara perdata yang pada dasarnya tidak sesulit memperbaharui KUHP. Oleh karena itu, konsep “pembaharuan hukum kolonial” sebaiknya diperbaiki dan diubah menjadi konsep “Pembaharuan hukum sesuai jiwa bangsa Indonesia”. Konsep ini dimaksudkan bahwa pada usia emas 100 tahun Indonesia, berbagai cabang hukum yang ada telah direview sedemikian rupa sehingga seluruh hukum yang ada telah mencerminkan jiwa hukum bangsa Indonesia dan bukan lagi sebatas “meniru” bangsa lain yang hukumnya tidak selalu cocok dengan kebutuhan bangsa Indonesia.

Demikian juga dengan “hukum adaptif”. Konsep ini perlu diperjelas atau diganti dengan konsep yang lebih bisa diturunkan ke level operasional dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Bagaimana pun, demi menjaga kepastian hukum, maka norma-norma hukum biasanya dirumuskan secara kaku. Dalam arti, dirumuskan dalam kata atau kalimat yang pasti. Akibatnya, norma itu akan sulit sekali untuk “adaptif”. Kalaupun mesti adaptif, ia terlebih dahulu mesti diubah sebelum ia diterapkan. Agar konsep “adaptif” ini tidak disalahpahami seakan bermakna “fleksibel”, maka sebaiknya konsep ini diubah dengan konsep “hukum yang visioner”, di mana ia akan lebih dimaksud sebagai perumusan hukum yang berbasiskan pada kajian untuk masa depan dan cocok untuk perkembangan dalam jangka waktu panjang.

Adapun “penyederhanaan regulasi”, ini merupakan sasaran strategis yang amat penting diwujudkan untuk mencapai visi Indonesia emas. Saat ini, banyak sekali regulasi yang dibentuk, bahkan regulasi berupa peraturan menteri berkembang dengan demikian pesatnya. Padahal, sebagai negara yang menganut sistem presidensial, peraturan pelaksana undang-undang cukup hanya berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, namun dalam praktik ketatanegaraan kita juga berkembang peraturan menteri, sehingga obesitas peraturan menjadi tidak terelakan. Oleh karena itu, agenda penyederhanaan regulasi ini menjadi sangat penting.

Usulan: sasaran aspek tata kelola ini disarankan untuk diubah menjadi, pembaharuan hukum berbasis jiwa bangsa, visioner serta penyederhanaan regulasi.
Kedua, struktur hukum. Aspek ini juga sudah tergambar pada dua arah kebijakan berikut :

  1. transformasi kelembagaan hukum utamanya pembentukan badan tunggal perumus regulasi.
  2. penguatan penegakan hukum dengan reformasi lembaga penegak hukum melalui teknologi informasi untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas.

Terkait pembentukan badan tunggal perumus regulasi, hal ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 99 A UU 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disebut dengan istilah “lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang pembentukan peraturan perundang-undangan”. Arah pembentukan badan tunggal perumus regulasi sudah ditentukan dalam UU ini, tinggal membentuk lembaga tersebut. Oleh karena itu, arah kebijakan sudah harus pada aspek mengimplementasi pembentukan badan tunggal perumus kebijakan dan memfungsikan lembaga tersebut. 

Selanjutnya berkenaan dengan penguatan penegakan hukum dengan reformasi penegak hukum tidak cukup hanya dengan memodernisasi perangkat pendukung penegakan hukum melalui teknologi informasi, melainkan juga harus disertai dengan arah kebijakan untuk membangun kekuasaan kehakiman yang betul-betul merdeka. Arah kebijakan terkait kemerdekaan kekuasaan kehakiman di mana hakim-hakimnya tidak mudah diintervensi cabang kekuasaan lain menjadi sangat penting, karena kunci supremasi hukum salah satunya ada pada jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman.

Usulan: arah kebijakan direvisi menjadi, penguatan penegakan hukum dengan memperkuat kemandirian kekuasaan kehakiman dan reformasi lembaga penegak hukum melalui teknologi informasi untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas.

Ketiga, budaya hukum. aspek pembangunan budaya hukum belum tampak dan terbaca dalam rancangan RPJP ini. Untuk memperbaiki tata kelola, kebijakan strategis pembangunan budaya hukum juga diperlukan. Budaya taat hukum baik oleh penyelenggara negara maupun masyarakat mesti dibangun. Jika tidak, pembangunan apa pun akan gagal jika tidak ditopang oleh budaya hukum yang baik. Keberhasilan transformasi sosial dan ekonomi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan membangun budaya hukum.
Usulan: perlu ditambahkan pada bagian arah kebijakan tata kelola, pengembangan budaya sadar hukum dan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Penutup
Pembangunan hukum sesuai jiwa bangsa Indonesia mesti menjadi kerangka pembangunan hukum dalam periode menjelang 100 tahun Indonesia merdeka. Pembangunan hukum tersebut mencakup pembenahan pada aspek substansi hukum, struktur hukum dan juga budaya hukum. (*)

Penulis : Prof. Yuliandri, SH, MH (Disampaikan saat acara Rektor Berbicara Indonesia Emas 2045 pada Selasa (6/6) Bersama Kementerian PPN/Bappenas)