Memang tidak dapat serta merta kita mengkategorikan kejahatan siber sebagai tindak pidana terorisme. Lalu, kapan masuk kategori tindak pidana terorisme? Jawabnya adalah ketika motif kejahatan siber adalah menciptakan ketakutan yang meluas, merusak infrastruktur kritis, atau menargetkan populasi sipil dengan tujuan politik.

Ada beberapa alasan dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme, antara lain tujuan politik, dampak sosial dan ekonomi yang luas, dan kerja sama dengan kelompok teroris.

Mayoritas kejahatan siber di Indonesia terkait dengan kejahatan komputer konvensional, seperti pencurian data, pencurian identitas, atau kejahatan finansial. Penilaian apakah suatu serangan siber dapat dianggap sebagai tindak pidana terorisme harus didasarkan pada fakta-fakta spesifik dan bukti yang ada dalam setiap kasus yang diperiksa secara individu.

Kita perlu mencermati dampak dari sebuah tindak kejahatan siber dalam perspektif kerugian ekonomi yang dapat dialami oleh sebuah negara. Kita cermati bersama, akibat kejahatan siber antara lain kehilangan data dan informasi, penurunan kepercayaan publik, gangguan operasional, biaya pemulihan, hilangnya kekayaan intelektual dan inovasi. Secara umum, kerugian ekonomi akibat kejahatan siber dapat bervariasi tergantung pada skala serangan, sektor yang terkena dampak, dan kapasitas negara dalam menangani serangan tersebut.

Heboh pemberitaan terkait gangguan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) baru-baru ini, yang diduga kuat akibat serangan siber ransomware, semestinya menjadi pelajaran bagi perbankan kita dalam konteks keamanan negara. Kita tidak boleh berhenti pada perspektif kejahatan komputer biasa. Potensi ancaman terorisme patut dipertimbangkan.

Penulis : Prof. Rika Ampuh Hadiguna (Dosen Teknik Universitas Andalas)