Sirup maple merupakan produk pemanis alami yang mayoritas diproduksi di Canada. Lebih dari 70% supply maple syrup dunia dipasok dari negara ini. Biasanya sirup ini dinikmati sebagai toping untuk pancake, french toast atau makanan sarapan pagi lainnya. Rata-rata kadar gula maple syrup adalah sekitar 67 skala Brix. Harga maple syrup cukup tinggi. Untuk pasar Indonesia, berbagai toko online menjualnya dengan kisaran karta sekitar Rp. 100 ribu per seperempat liter. Berarti per liternya seharga Rp. 400.000, melebihi harga madu.

Jika kita telusuri produk alam Indonesia, ternyata ada yang dapat diproses menjadi sirup seperti maple syrup ini. Tentu saja dengan karakteristik rasa yang berbeda, namun juga tak kalah enaknya. Di antaranya adalah nira aren yang jumlahnya cukup banyak. Salah satu kawasan yang banyak ditumbuhi tanaman are ini adalah sebuah kawasan di Kabupaten Limapuluh kota.

Jika berjalan ke daerah ini anda akan takjub dengan keindahan alamnya. Ada sawah yang bertingkat, perbukitan, hutan yang rimbun yang memenuhi lereng gunung. Kawasan ini berada di kaki gunung Sago, Desa Labuh Gunung, di Lareh Sago Halaban Kabupaten Limapuluh Kota. Sebagaimana layaknya daerah di pegunungan, daerah ini juga sangat subur. Salah satu yang menarik adalah tumbuhnya lebih dari 30.000  pohon aren (Arenga Pinnata) atau dikenal dalam bahasa daerah sebagai pohon enau, atau anau. Pohon ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi sebagian penduduk.

Produk utama yang dihasilkan dari pengolahan aren ini adalah gula aren batok, serta gula semut namun dengan volume yang relatif kecil. Selain itu, air nira aren juga menjadi bahan untuk membuat minuman beralkohol yang seringkali menjadi masalah karena tidak sesuai dengan norma adat dan norma agama yang berkembang di tengah masyarakat.

Pohon Aren

Pohon aren, dikenal juga dengan nama palem aren (Arenga pinnata), adalah pohon yang biasanya tumbuh di daerah tropis seperti Asia Tenggara. Pohon ini memiliki ciri-ciri antara lain dapat tumbuh mencapai ketinggian sekitar 20 meter. Batangnya tegak dan dilapisi oleh serat-serat kasar berwarna cokelat. Daunnya berbentuk pinnate mirip dengan daun kelapa. Buahnya berbentuk bulat atau lonjong dengan kulit yang keras.

Pohon aren biasanya tumbuh di hutan-hutan dataran rendah hingga sedang, terutama di daerah tropis seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan India. Tanaman ini tumbuh subur di tanah yang lembab dan subur.

Salah satu yang manfaat yang diambil masyarakat dan berpotensi memiliki nilai ekonomis tinggi adalah nira aren yang dapat diolah menjadi berbagai produk turunan. Nira aren ini adalah cairan yang diperoleh dari bagian tangkai bunga  aren.

Dahan bunga aren yang cukup umur dipotong secara tradisional oleh petani, diberikan perlakuan pukulan sehingga dari ujung potongannya menetes cairan manis, kita sebut sebagai nira aren. Dalam satu hari, jumlah air nira yang terkumpul dapat mencapai 10 hingga 15 liter. Air nira Inilah yang ditampung untuk kemudian diolah menjadi produk turunan. Berarti jika rata-rata hari produksi nira dalam satu tahun adalah 200 hari, maka satu pohon berpotensi menghasilkan 2000 hingga 3000 liter air nira tiap tahun.

Dari air nira ini, yang memiliki kandungan gula sekitar 12 – 13 skala Brix, penduduk mengolahnya menjadi gula aren. Ada juga yang dijual sebagai minuman, namun jika tanpa perlakuan khusus, sulit, karena sifatnya sangat cepat terfermentasi. Penjualan sebagai minuman sangat terbatas untuk wilayah yang berdekatan saja.

Untuk desa di Lareh Sago Halaban yang disebutkan sebelumnya setiap  hari dapat dihasilkan sekitar 5000 liter nira. Jika hari produksi efektif 250 hari setahun, maka nilai ekonomisnya Rp. 2.5 Milyar per tahun.

Nilai Tambah Produk Turunan Nira Aren

Di samping digunakan sebagai bahan pembuatan gula aren, dalam jumlah signifikan, tidak kurang dari 2000 liter sehari dijual kepada orang untuk dijadikan tuak, minuman beralkohol, yang dikirim ke wilayah tetangga. Ini masalah menahun. Minuman itu jelas-jelas tidak sesuai dengan norma yang berlaku di tengah masyarakat.

Saya mencoba menghitung nilai tambah produk turunan aren ini. Hasilnya sungguh miris. Harga jual gula aren hanya sekitar Rp. 22.000 per kg. Untuk menghasilkan 1 kg gula dibutuhkan 9 liter air nira. Dipotong dengan biaya bahan kayu bakar, biaya tenaga kerja untuk memasak, maka nilai tambah per liter air nira hanya Rp. 1400.- saja. Sementara jika mereka jual ke pembuat tuak, tanpa lelah memasak, mereka mendapat Rp. 2500 per liter air nira. Jadi perbedaan nilai tambah yang signifikan ini membuat sulit sekali untuk mengajak masyarakat berhenti menjual ke pembuat tuak. Ini adalah suatu yang alamiah saja.

 

Peningkatan Nilai Tambah Nira Aren: Jadi Subsitusi Maple Syrup

Jika nira aren dievaporasi  sehingga kadar gulanya mencapai 67%, secara fisik bentuknya mirip dengan maple syrup. Aromanya khas, rasanya juga unik dan dapat dinikmati dengan makanan pancake atau toast. Sirup aren sangat berpeluang menjadi pendamping produk maple syrup di pasaran.

Ada beberapa faktor penunjang, di antaranya adalah keunikan rasa dan juga yang dapat menjadi faktor penarik adalah kandungan glikemik indeks (GI) yang rendah. Nilai GI gula aren berdasarkan berbabagi publikasi ilmiah berada antara 35 hingga 54. Bandingkan dengan maple syrup yang rata-rata 54.  Berarti nilai GI sirup nira aren ini lebih rendah atau setara dengan maple syrup. Ini dapat menjadi faktor pendorong naiknya nilai jual.

Untuk sampai pada tahapan itu, tentu saja ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan, seperti sertifikasi organik kawasan sumber nira, perbaikan dan standarisasi proses produksi sesuai prinsip good manufacturing process (GMP), penyaringan, perbaikan pengemasan, jaminan kualitas, serta dukungan rantai distribusi yang baik.

Semua itu sulit untuk dilakukan oleh para petani tradisional secara mandiri. Dibutuhkan dukungan multi pihak, seperti dukungan dari pemerintah untuk fasilitasi, perizinan, promosi, dukungan perguruan tinggi untuk fokus riset dalam pengembangan produk branding hingga membantu menyiapkan format kelembagaannya. Jika semua ini dapat direalisasikan maka nilai ekonomis produk turunan dapat naik dari sekitar Rp. 2.5 Milyar per tahun menjadi Rp. 50 Milyar per tahun. Suatu potensi kenaikan nilai tambah yang luar biasa!

Penulis : Henmaidi, Ph. D (Sekretaris Universitas/Dosen Teknik Industri Universitas Andalas)