Kita lebih sering mengetik daripada berbicara. Dalam satu hari, ratusan pesan melintas di layar ponsel dari obrolan ringan hingga diskusi penting. Percakapan kini berlangsung dalam bentuk teks, cepat dan praktis, tetapi sering kali kehilangan sentuhan manusiawi. Salah satu dampak dari pergeseran ini adalah dry text, pesan singkat yang terdengar datar dan minim ekspresi. Bagi sebagian orang, ini hanyalah cara berkomunikasi yang efisien. Namun, bagi yang lain, pesan-pesan ini bisa terasa dingin, menimbulkan kebingungan, bahkan membuat penerimanya merasa diabaikan.Bayangkan seorang sahabat yang dulu sering berbicara panjang lebar tiba-tiba hanya menjawab pesan dengan "Oke" atau "Sip." Bagi sebagian orang, jawaban semacam ini adalah cara yang efisien dan langsung untuk merespons. Namun, bagi orang lain, jawaban seperti itu bisa terasa kaku, menimbulkan kebingungan, bahkan kesan acuh tak acuh.
Dalam komunikasi tatap muka, kita memiliki akses ke berbagai isyarat non-verbal seperti ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahasa tubuh yang membantu kita menafsirkan maksud lawan bicara. Namun, dalam komunikasi berbasis teks, semua isyarat ini hilang. Akibatnya, pesan singkat seperti "Oke" atau "Sip" bisa dengan mudah disalahartikan sebagai bentuk ketidaktertarikan.
Seorang mahasiswa, misalnya, mengirim pesan kepada dosennya untuk meminta bimbingan tugas. Jika sang dosen hanya menjawab "Baik," tanpa konteks lebih lanjut, mahasiswa bisa saja merasa bingung. Apakah dosen setuju untuk membimbing? Apakah ia sibuk? Ketidakpastian ini adalah salah satu dampak dari fenomena dry text.
Jebakan Pesan Teks dan Permainan Psikologis
Matthew Hussey, seorang pakar hubungan, memperkenalkan konsep "jebakan pesan teks" yang mengacu pada situasi di mana seseorang memberikan upaya minimal dalam komunikasi, sering kali hanya mengirim pesan singkat tanpa menunjukkan niat untuk membawa hubungan ke tingkat yang lebih dalam. Misalnya, seseorang mungkin hanya mengirim pesan "Selamat pagi" atau "Apa kabar?" tanpa ada upaya untuk mengadakan percakapan yang lebih bermakna atau pertemuan langsung.
Skenario seperti ini sering terjadi dalam hubungan romantis maupun profesional. Seorang rekan kerja yang hanya membalas dengan "Noted" tanpa tambahan informasi bisa memberikan kesan bahwa ia tidak benar-benar peduli dengan proyek yang sedang dikerjakan bersama. Di sisi lain, seseorang dalam hubungan asmara yang hanya mengirim "Iya" atau "Nanti" berulang kali bisa menimbulkan rasa tidak dihargai bagi pasangannya.
Jebakan ini juga sering kali terjadi dalam dinamika kekuasaan dalam komunikasi. Misalnya, seseorang yang lebih dominan dalam suatu hubungan mungkin dengan sengaja memberikan respons singkat untuk menunjukkan superioritas atau kurangnya minat. Ini bisa menciptakan ketegangan dan rasa tidak aman bagi pihak lain yang merasa harus selalu berusaha lebih keras dalam berkomunikasi.
Dry text tidak hanya menjadi masalah kecil dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga dapat berdampak pada hubungan interpersonal dalam jangka panjang. Dalam dunia kerja, gaya komunikasi yang terlalu singkat bisa menciptakan kesan bahwa seseorang tidak ramah atau tidak kooperatif. Seorang manajer yang hanya membalas "Oke" kepada bawahannya yang telah bekerja keras bisa membuat tim merasa kurang dihargai.
Dalam hubungan personal, dry text bisa menimbulkan kesalahpahaman yang lebih dalam. Ketika seseorang merasa bahwa lawan bicaranya tidak terlibat secara emosional dalam percakapan, ini dapat menimbulkan rasa kecewa dan perasaan diabaikan. Percakapan yang seharusnya hangat dan penuh makna bisa terasa dingin dan kaku, yang pada akhirnya dapat mengganggu keakraban dalam hubungan tersebut.
Sebagai contoh, seorang teman yang dulunya aktif bercerita kini hanya menjawab dengan satu kata. Meski alasan di balik perubahan gaya komunikasi ini bisa bermacam-macam dari kesibukan hingga perubahan perasaan hal ini tetap bisa menciptakan jarak dalam hubungan yang sebelumnya erat.
Pendekatan Alternatif untuk Menghindari Dampak Negatif Dry Text
Untuk mengatasi dampak negatif dry text, diperlukan pendekatan yang lebih komunikatif dan berorientasi pada hubungan interpersonal yang sehat. Salah satu cara paling sederhana adalah dengan meningkatkan kualitas respons dalam percakapan berbasis teks. Daripada hanya membalas "Oke," seseorang bisa menambahkan sedikit konteks seperti "Oke, aku akan cek nanti ya!" atau "Sip, terima kasih sudah mengabari!" Dengan cara ini, pesan terasa lebih hidup dan menunjukkan keterlibatan lebih dalam.
Selain itu, penggunaan emoji atau GIF juga dapat membantu menyampaikan emosi yang lebih kaya dalam komunikasi digital. Sebuah "Terima kasih 😊" terasa lebih hangat dibandingkan hanya "Terima kasih." Meski terlihat sederhana, elemen visual ini bisa membantu menggantikan ekspresi non-verbal yang hilang dalam percakapan berbasis teks.
Dalam beberapa situasi, penggunaan voice note atau panggilan telepon bisa menjadi solusi yang lebih baik. Jika sebuah percakapan mulai terasa kaku atau terjadi kesalahpahaman, mengirim pesan suara atau langsung menelepon dapat membantu mengklarifikasi maksud sebenarnya. Ini terutama penting dalam interaksi profesional di mana kejelasan pesan sangat dibutuhkan.
Menyesuaikan gaya komunikasi dengan lawan bicara juga merupakan pendekatan yang perlu diperhatikan. Jika seseorang cenderung suka berbicara panjang, menjawab dengan satu kata mungkin akan terasa kurang menghargai. Sebaliknya, jika lawan bicara memang terbiasa dengan pesan singkat, kita tidak perlu memaksakan percakapan yang lebih panjang jika tidak diperlukan. Adaptasi ini penting agar komunikasi tetap efektif dan nyaman bagi kedua belah pihak.
Selain itu, memahami bahwa tidak semua dry text adalah bentuk ketidaktertarikan juga menjadi hal yang krusial. Seseorang bisa saja sedang sibuk, lelah, atau tidak terbiasa mengekspresikan diri lewat teks. Daripada langsung berasumsi negatif, kita bisa mencoba mencari cara komunikasi yang lebih cocok, seperti mengatur waktu untuk berbicara secara langsung. Dengan menerapkan pendekatan-pendekatan ini, kita dapat membangun komunikasi digital yang lebih baik, lebih hangat, dan lebih bermakna, baik dalam hubungan profesional maupun personal. Teknologi seharusnya tidak membuat kita kehilangan esensi dari komunikasi itu sendiri, melainkan menjadi alat yang memperkaya interaksi kita dengan sesama.
Penulis: Yayuk Lestari (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)