Padang (UNAND) — Maraknya kasus pelecehan seksual oleh oknum tenaga medis terhadap pasien kembali mencuat dan menimbulkan keprihatinan mendalam di tengah masyarakat. Kasus-kasus ini tidak hanya mencederai korban secara personal, tetapi juga merusak kredibilitas institusi pelayanan kesehatan yang seharusnya menjadi ruang aman dan penuh empati.

Menanggapi isu ini, Dr. dr. Citra Manela, Sp.F., dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, menegaskan pentingnya membangun kembali kepercayaan publik terhadap profesi medis melalui penguatan etika dan pembinaan karakter sejak dini.

"Kedokteran merupakan profesi yang berbasis pada kepercayaan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Ketika kepercayaan itu dilanggar, khususnya melalui pelecehan seksual, maka luka yang ditinggalkan bukan hanya pada korban, tapi juga pada citra profesi secara keseluruhan," ujarnya.

Menurutnya, meningkatnya laporan pelecehan tidak serta-merta berarti jumlah kasus bertambah, melainkan dapat pula mencerminkan meningkatnya kesadaran dan keberanian korban untuk bersuara. Namun, akar persoalan perlu dilihat lebih dalam. Ia menyoroti berbagai faktor penyebab, mulai dari latar belakang keluarga, pola asuh tidak sehat, hingga pengaruh negatif pornografi yang diakses pada usia perkembangan.

"Banyak pelaku kekerasan seksual pernah mengalami trauma atau kekerasan di masa kecil. Tanpa intervensi yang tepat, trauma ini bisa berubah menjadi perilaku agresif di masa dewasa," jelasnya.

Ia menambahkan konsumsi pornografi, terutama di usia anak-anak, berpotensi mengubah pola pikir dan menurunkan empati, apalagi bila dikombinasikan dengan kurangnya pendidikan nilai dan lingkungan yang permisif.

Dalam konteks pendidikan, Dr. Citra menjelaskan Fakultas Kedokteran telah memiliki kurikulum etika kedokteran dan hukum kesehatan yang mengajarkan pentingnya relasi profesional antara dokter dan pasien. Namun, ia menilai tantangan utama justru terletak pada penerapannya di lapangan klinis. "Etika tidak cukup diajarkan lewat teori. Butuh pembiasaan, keteladanan, dan sistem penilaian yang mencerminkan pentingnya profesionalisme." tuturnya

Untuk mencegah kejadian serupa, Dr. Citra menyarankan sejumlah langkah konkret:

  • Penguatan kurikulum etika sepanjang jenjang pendidikan
  • Mengintegrasikan pelatihan soft skills dan empati
  • Membangun sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses
  • Pelatihan rutin bagi dosen klinis dan staf
  • Evaluasi sikap dan perilaku sebagai bagian dari penilaian
  • Membangun budaya organisasi berbasis penghormatan dan akuntabilitas

Ia juga menekankan perlunya evaluasi sistem seleksi bagi calon dokter. "Tidak hanya kemampuan akademik yang dinilai, tetapi juga karakter, integritas, dan empati. Ini juga sudah menjadi bagian dari proses seleksi di FK UNAND," tambahnya.

Sebagai pesan kepada mahasiswa dan tenaga medis muda, ia menegaskan jagalah etika profesi dengan sebaik-baiknya. Ingat bahwa pasien datang dalam kondisi paling rentan. Tugas kita bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menjaga martabat dan rasa aman mereka.

Lebih luas, Dr. Citra mendorong kolaborasi lintas sektor. Ia menilai pemerintah perlu memperkuat regulasi, menutup akses pornografi yang merusak generasi muda, dan mendorong edukasi digital yang sehat. Institusi medis harus menyediakan saluran pengaduan yang aman serta membangun budaya transparansi. Sedangkan lembaga pendidikan tinggi perlu menjadikan etika dan karakter sebagai prioritas utama dalam pendidikan kedokteran.

Ia juga memberikan imbauan kepada masyarakat dan pasien agar lebih sadar terhadap hak-haknya. “Jangan ragu bertanya, minta penjelasan sebelum prosedur medis dilakukan, dan laporkan jika ada hal yang membuat Anda tidak nyaman. Sebagian besar tenaga medis bekerja secara profesional, tapi kewaspadaan tetap penting untuk melindungi diri.”(*)

Humas, Protokol, dan Layanan Informasi Publik